Pdt. Janter Manik
Gembala Sidang GEREJA ISA ALMASIH
JEMONGKO – Kalbar.
Dari Terminal Pondok Gede
Menuju Terminal Tuhan.
Sebelum Terpanggil (nikmatnya hidup duniawi).
Saya dilahirkan sebagai anak pertama dari enam bersaudara dalam sebuah keluarga Katolik. Namun nilai-nilai kekristenan tidak pernah mewarnai kehidupan keluarga kami. Keluarga kami adalah keluarga yang berantakan dan tidak mampu. Ayah saya hanyalah seorang supir angkutan umum. Setiap pulang dari pekerjaannya pasti dalam keadaan mabuk. Sementara ibu kami, adalah ibu rumah tangga biasa. Kebiasaan orang tua kami yang sudah mendarah daging semakin memperparah suasana rumah tempat kami bernaung, omelan dan pukulan sudah menjadi hal yang biasa kami alami. Perhatian dari bapa dan ibu kepada anak-anaknya boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Suasana rumah pada saat itu, sungguh-sungguh menjadi neraka bagi kami, khususnya bagiku.
Hari lepas hari, aku hidup dalam suasana seperti itu, akibatnya sekolah bukan lagi prioritas bagiku. Setelah semakin besar, aku mulai berpikir untuk mencari uang. Timbul dalam benakku pada saat itu, bagaimana kalau aku bekerja untuk mendapatkan uang? Setelah aku membulatkan tekad, aku mulai mencari pekerjaan. Pekerjaan pertamaku pada saat itu, menjadi kernet mobil angkutan umum. Penghasilan yang aku dapatkan mencapai Rp 30.000 sampai Rp 80.000 perhari, suatu penghasilan yang cukup besar bagiku pada saat itu . Namun karena aku merasa mendapat uang itu begitu gampang, maka uang yang aku peroleh setiap hari habis begitu saja tanpa ada artinya, aku menjadi lupa diri. Uang penghasilan ini tidak aku gunakan untuk keperluan yang benar. Artinya aku memakai uang itu untuk kesenangan duniawi dan berfoya-foya. Saat itu aku benar-benar merasakan bahwa hidup ini begitu nikmat sekali. Mulai saat itulah, aku menjadi duplikat ayahku yang suka mabuk- mabukan, main judi bahkan main perempuan.
Untuk tetap menjadi kernet angkutan kota, aku merasa tidak puas. Di kemudian hari aku mengurus SIM untuk menjadi sopir. Setelah mendapat SIM A pekerjaanku meningkat dengan membawa mobil Koasi jurusan Pondok Gede. Bekerja sebagai sopir tidak mengubahku menjadi orang yang baik malah seebaliknya, dengan uang yang semakin besar, hidupku semakin menjadi-jadi. Semua penghasilan aku gunakan untuk bermain perempuan, main judi dan mabuk-mabukan. Tiap malam aku bergadang di Terminal Pondok Gede untuk mencari perempuan malam dan bermabuk-mabukan bersama teman-teman satu profesiku.
Keluar masuk penjara.
Aku tidak pernah berpikir hidup mendekam di dalam penjara, namun perjalanan hidupku mengantarkanku untuk bersentuhan dengan “Hotel Prodeo”. Pada tahun 1994 ketika aku sedang menjalankan tugasku untuk mencari penumpang, aku mengalami kecelakaan lalu lintas dengan menabrak 3 orang di TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Peristiwa inilah yang akhirnya membawaku mendekam di LP Pondok Bambu Jakarta Tirnur. Kejadian ini tidak membuatku introspeksi diri untuk menjadi lebih baik. Setelah aku masuk Rutan Pondok Bambu, aku semakin haus akan uang. Aku tak segan-segan berlaku kasar kepada sesama napi untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Memeras uang teman - teman sepenjara, adalah pekerjaanku sehari-hari. Jika aku tidak mendapatkan apa yang aku cari, aku tidak segan-segan memukuli mereka.
Persidangan begitu lama, sampai 9 kali belum tuntas juga, membuat aku semakin frustasi dan brutal. Kelelahan fisik dan mental, berakibat kepada teman-teman di dalam penjara. Mereka menjadi pelampiasan amarahku. Sering kali setelah kembali dari persidangan aku memukuli orang-orang dalam kamarku tanpa sebab yang pasti.
Dalam sidang yang ke 10 perkaraku diputuskan, dan aku dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan. Tidak berapa lama dari putusan Hakim, aku dipindahkan ke LP Pemuda Tangerang kelas II A Jawa Barat. Di LP ini kejahatanku semakin bertambah, di tempat ini bukan lagi sekedar memeras sesama napi, tetapi napi itu sendiri aku setubuhi, dengan melakukan sodomi. Aku hidup layaknya, seperti Sodom dan Gomora.
Pada tanggal 4 Nopember 1996 aku bebas dari penjara. Setelah aku bebas dari penjara aku tidak punya keinginan untuk bertobat. Penjara tidak membuat aku menjadi lebih baik. Dari LP Tangerang, aku langsung menuju terminal Pondok Gede menemui teman-teman lama. Pesta penyambutan dilakukan untuk menyambut kebebasanku. Mereka menyuguhi aku minuman sampai mabuk, main judi serta menghabiskan malam bersama pelacur. Untuk mencari uang kembali aku menyetir angkutan umum di malam hari. Hidupku rasanya semakin indah, dengan duit yang kudapat, aku bisa melakukan apa saja di luar terali besi. Setelah aku bekerja beberapa hari, aku mengalami suatu penyakit. Aku tidak pergi ke dokter untuk berobat, tetapi ke dukun sekalian minta penjaga diri (diisi dengan ilmu kekebalan tubuh) untuk mencegah hal-hal yang buruk yang akan menimpa diriku. Inilah kenikmatan duniawi yang aku rasakan, saat itu aku tidak ingat Tuhan sama sekali.
Pada tanggal 5 Agustus 1997 lagi-lagi nasib sial menimpaku, ketika aku sedang mengendarai angkutan yang aku bawa, ada penumpangku yang terjatuh dan terlindas roda mobil. Kejadiannya di daerah Cililitan Jakarta Timur. Peristiwa ini mengantarkanku untuk kedua kalinya masuk penjara. Sama seperti kejadian pertama, LP Pondok Bambu menjadi tempatku menunggu vonis. Setelah sidang hakim memutuskan 2 tahun 6 bulan penjara. Aku dikirim ke LP Pemuda Tangerang Jawa Barat. Di sini, kembali aku memukuli dan memeras uang para tahanan, dan menyodomi mereka. Akibat perbuatanku ini, aku dipindahkan ke LP yang lebih besar, ke LP Dewasa Kelas IA Tangerang Jawa Barat.
Awal Pertobatan (Mengenal Yesus).
Setelah 1 tahun aku menjadi penghuni LP Dewasa Pria Tangerang, aku mulai aktif beribadah ke Gereja untuk mendengarkan Firman Tuhan. Dari ibadah dan konseling yang rutin ku ikuti di dalam LP inilah aku mulai berubah kearah yang lebih baik, yang selama ini tidak pernah aku lakukan ketika aku berada di luar. Di Lembaga Pemasyarakatan inilah aku mulai menyadari siapa diriku. Lewat pelayanan di penjara ini pula, aku mengambil tekad untuk meninggalkan semua perbuatan lama, dan mengambil keputusan untuk menjadi murid Kristus yang sungguh-sungguh.
Panggilan Melayani.
Untuk yang kedua kali aku meninggalkan penjara menuju dunia yang bebas. Puji Tuhan, ketika keluar dari penjara yang ke dua ini, aku tidak lagi pergi ke terminal Pondok Gede tetapi aku pergi ke terminalnya Tuhan yang bernama YASINDO, yaitu suatu tempat pembentukan anak - anak brandal, khususnya mereka yang keluar dari penjara untuk dididik dan diubahkan menjadi anak Tuhan serta dipersiapkan ke ladang Tuhan, bagi mereka yang terpanggil untuk menjadi hamba Tuhan. Sesampainya, aku di asrama YASINDO (Yayasan Anugerah Sejahtera Indonesia) aku dididik dan dipersiapkan untuk menjadi manusia seutuhnya. Puji Tuhan, disanalah aku mengalami jamahan Tuhan yang luar biasa dalam hidupku. Sekalipun aku hanya 3 bulan di asrama, tapi aku merasakan betapa dahsyatnya pertolongan Tuhan dalam hidupku.
Setelah 3 bulan di YASINDO, aku dikirim mengikuti pendidikan di KBTC (Ketileng Bible Training Centre) selama 1 tahun. Puji Tuhan sekalipun menurut ukuran manusia aku tidak layak, karena pendidikanku yang tidak tamat Sekolah Dasar, dan juga waktu yang terlalu singkat berada di Yasindo untuk dibina, tetapi aku berhasil mengikuti seluruh pembinaan di KBTC Semarang. Jika Tuhan yang memanggil, maka Dialah yang akan memampukan. Itulah prinsip hidupku saat itu. Di KBTC inilah aku mempersiapkan diri untuk menjadi hamba Tuhan yang siap di utus kemanapun Tuhan kehendaki.
Setelah mengalami pengalaman bersama Tuhan, aku dapat mengatakan bahwa di dalam Tuhan jauh lebih nikmat dan pada kenikmatan duniawi yang pernah aku alami.
Terjun di ladang Tuhan.
Setelah selesai studi di KBTC Semarang, aku di utus ke Kalimantan Barat. Awalnya aku ditempatkan di Sekretariat alumni di Pontianak. Dari sana aku di utus ke Gereja Isa Almasih Pal XX Ngabang. sebagai pembantu gembala sidang, melayani pos PI dan sekolah Minggu.
Selesai praktek di GIA Pal XX, aku diutus oleh Sinode untuk meneruskan pelayanan di GIA Jemongko. Awal pelayanan GIA Jemongko ini dirintis oleh alumni KBTC Semarang yaitu Bp. Pdt. Fernando Siregar. Beliau berhasil membangun gereja walau dalam bentuk bangunan semi permanen.
Saat ini aku yang dulunya tidak pernah berpikir menjadi hamba Tuhan, Tuhan percayakan untuk meneruskan pelayanan tersebut sebagai gembala sidang. Sembilan tahun 6 bulan aku telah dipercaya Tuhan menjadi gembala di tempat ini dengan jumlah jemaat 10 KK. Tantangan dan pergumulan berupa penyembah-penyembah berhala dan perdukunan masih meraja lela di tempat ini, namun aku tidak pernah mundur dari ladang Tuhan. Inilah yang terus mendorongku untuk tetap setia melayani di desa ini.
Demikianlah riwayat pertobatan dan panggilan pelayananku, terima kasih.
Tuhan Memberkati.